Dalam Pedoman Kurikulum Berbasis Kompetensi bidang Bimbingan Konseling
tersirat bahwa suatu sistem layanan bimbingan dan konseling berbasis kompetensi
tidak mungkin akan tercipta dan tercapai dengan baik apabila tidak memiliki
sistem pengelolaan yang bermutu. Artinya, hal itu perlu dilakukan secara jelas,
sistematis, dan terarah. Untuk itu diperlukan guru pembimbing yang profesional
dalam mengelola kegiatan Bimbingan Konseling berbasis kompetensi di sekolah
dasar.
Implementasi kegiatan BK dalam pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi
sangat menentukan keberhasilan proses belajar-mengajar. Oleh karena itu peranan
guru kelas dalam pelaksanaan kegiatan BK sangat penting dalam rangka
mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran.
Sardiman (2001:142) menyatakan bahwa ada sembilan peran guru dalam kegiatan
BK, yaitu:
1. Informator, guru diharapkan sebagai pelaksana cara
mengajar informatif, laboratorium, studi lapangan, dan sumber informasi
kegiatan akademik maupun umum.
2. Organisator, guru sebagai pengelola kegiatan akademik, silabus, jadwal
pelajaran dan lain-lain.
3. Motivator, guru harus mampu merangsang dan memberikan dorongan serta
reinforcement untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya
(aktivitas) dan daya cipta (kreativitas) sehingga akan terjadi dinamika di
dalam proses belajar-mengajar.
4. Director, guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa
sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.
5. Inisiator, guru sebagai pencetus ide dalam proses belajar-mengajar.
6. Transmitter, guru bertindak selaku penyebar kebijaksanaan dalam pendidikan
dan pengetahuan.
7. Fasilitator, guru akan memberikan fasilitas atau kemudahan dalam proses
belajar-mengajar.
8. Mediator, guru sebagai penengah dalam kegiatan belajar siswa.
9. Evaluator, guru mempunyai otoritas untuk menilai prestasi anak didik dalam
bidang akademik maupun tingkah laku sosialnya, sehingga dapat menentukan
bagaimana anak didiknya berhasil atau tidak.
Lebih lanjutnya,
mestinya sebagai langkah awal untuk memahami konsep bimbingan dan konseling
sesungguhnya, para guru bisa lebih dulu bersikap empatik (empathy)
sehingga mampu menyelami dunia para siswanya yang masih berusia remaja dengan
berbagai problemnya. Setelah mereka berhasil “mengambil hati” siswa melalui
empati, langkah selanjutnya adalah berusaha mengembangkan komunikasi interpersonal
lainnya yang ditandai dengan sikap kesetaraan (equality), sikap
positif (possitiveness), keterbukaan (openness), dan sikap
mendukung (supportiveness) agar lebih memahami permasalahan siswa yang
tersembunyi di balik perilaku luaran-nya yang memang menantang kesabaran para
guru yang bijak.
Sumber:
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar