Tahun 2013 merupakan tahun Pemerintahan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan kembali mencanangkan kurikulum baru. Kurikulum ini menjadi kurikulum 2013, dimana sebelumnya Kemendikbud menerapkan sistem KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) terhadap seluruh instansi pendidikan atau sekolah di seluruh Indonesia. Perubahan kurikulum ini bukan hanya terjadi satu atau dua kali ditetapkan, tetapi bahkan telah berkali-kali dilakukan. Bukan hanya terjadi di tahun setelah 1945 atau masa setelah kemerdekaan tetapi juga di masa sebelumnya yakni masa pemerintahan VOC Belanda.
Hal inilah menjadi suatu pemikiran bahwa menerapkan suatu kurikulum pendidikan itu tidaklah mudah. Terutama yang terjadi di Indonesia khususnya. Melihat dari kurikulum di tahun setelah kemerdekaan Indonesia (1945) saja yang mungkin bagi siswa-siswa saat ini telah melewati berbagai periode seperti Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum 2004, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), Kurikulum 2006, dan terakhir KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) ini. Kemudian selanjutnya, ada kurikulum 2013. Berbagai sebab pun menjadi alasan terjadinya berkali-kali perubahan kurikulum ini.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada kurikulum pendidikan yang dikelola oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan ini karena terus berusaha untuk menetapkan sistem kurikulum yang cocok untuk Indonesia. Terlihat begitu sulitnya untuk menetapkan kurikulum ini. Hal ini tentu saja karena beragamnya kondisi Indonesia. Salah satu hasilnya seperti yang telah disebutkan tadi adalah Kurikulum 2013. Dan untuk masing-masing kurikulum tersebut memiliki tujuan masing-masing yang khusus untuk diterapkan bagi peserta didik. Khususnya untuk Kurikulum 2013 ini yang lebih menekankan pengembangan peserta didik dalam pendidikan yang bersifat akademik menjadi dua bagian, yakni akademik dan karakter.
Dalam kurikulum 2013 ini, perubahan pendidikan yang bersifat akademik ini berubah menjadi pendidikan secara akademik dan pendidikan secara karakter. Bahkan untuk pendidikan secara karakter ini lebih ditekankan terhadap tingkat pendidikan dasar atau TK dan SD. Hal ini terjadi karena menurut Kemendikbud terkait, karakter merupakan pondasi suatu pendidikan. Untuk itulah dalam pengembangan pendidikan akademik dan karakter ini terjadi pula perubahan dalam strategi pembelajaran. Strategi-strategi pembelajaran ini pun perlu untuk dibenahi agar sesuai dengan tujuan kurikulum 2013 ini. Karena perubahan kurikulum dan strategi-strategi pembelajaran ini saling berkaitan. Dan dengan menerapkan strategi pembelajaran yang tetap tentu saja keberhasilan perubahan kurikulum pun dapat tercapai.
Strategi pembelajaran ini terdiri dari tiga bagian, yaitu strategi pengorganisasian pembelajaran, strategi penyampaian pembelajaran dan strategi pengelolaan pembelajaran. Menurut Reigeluth, Bunderson dan Meril (1977) menyatakan strategi mengorganisasi isi pelajaran disebut sebagai struktural strategi, yang mengacu pada cara untuk membuat urutn dan mensistesis fakata, konsep, prosedur dan prinsisp yang berkaitan. Kemudian, untuk strategi penyampaian isi pembelajaran merupakan komponen variabel metode untuk melaksanakan proses pembelajaran. Dan terakhir untuk strategi pengelolaan pembelajaran merupakan komponen variabel metode yang berurusan dengan bagaimana menata interaksi antara pembelajar dengan variabel metode pembelajaran lainnya.
Lebih lanjutnya lagi, strategi pembelajaran ini memiliki berbagai istilah, diantaranya metode, pendekatan, teknik atau taktik dalam pembelajaran. Masing-masing metode merupakan upaya untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal, metode ini juga merupakan cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan strategi, sehingga strategi pembelajaran ini dapat dilaksanakan dengan berbagai metode. Kemudian, ada pendekatan yang merupakan titik tolak atau sudut pandang terhadap proses pembelajaran. Pendekatan ini ada dua dalam pembelajaran, yaitu pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centred approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centred approaches). Pendekatan yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct-instruction), pembelajaran deduktif atau pembelaran ekspositori. Dan untuk pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa menurunkan strategi pembelajaran discovery dan inkuiri serta pembelajaran induktif. Selanjutnya, teknik adalah cara yang dilakukan seseorang dalam rangka mengimplementasikan suatu metode. Dan terakhir, taktik adalah gaya seseorang dalam melaksanakan suatu teknik atau metode tertentu dan untuk taktik ini sifatnya individual.
Berdasarkan hal itu pulalah, perlu diadakan pemilihan dan menentukan strategi pembelajaran yang tepat. Salah satunya adalah dalam menerapakan metode pembelajaran. Metode pembelajaran ini merupakan bagian dari strategi pembelajaran, dimana metode pembelajaran berfungsi sebagai cara menyajikan, menguraikan, memberi contoh, dan memeberi latihan kepada siswa untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi tidak setiap metode pembelajaran sesuai digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Metode pembelajaran ini seperti, metode ceramah, diskusi, tanya jawab, demonstrasi, penampilan, metode studi mandiri, pembelajaran terprogram, latihan sesama teman, simulasi karyawisata, induksi, deduksi, simulasi, studi kasus, pemecahan masalah, insiden, seminar, bermain peran, proyek, praktikum dan lain-lain. Dan masing-masing metode ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Dan tugas gurulah untuk memilih metode-metode pembelajaran tersebut.
Oleh karena itu, dalam pemilihan strategi pembelajaran ini memiliki dasar pemilihannya. Yaitu, dengan menentukan tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran ini memiliki unsur-unsur seperti, Audience (peserta didik), Behavior (perilaku yang harus dimiliki), Condition (kondisi dan situasi), dan Degree (kualitas dan kuantitas hasil belajar). Selanjutnya, menentukan aktivitas dan pengetahuan awal siswa, menentukan integritas bidang studi atau poko bahasan, menentukan alokasi waktu dan sarana penunjang, menentukan jumlah siswa, serta menentukan pengalaman dan kewibawaan pengajar.
Kembali lagi, berdasarkan point-point tersebut tentang strategi pembelajaran dan terutama yang terakhir dasar pemilihan strategi inilah menentukan bagaimana proses kurikulum yang ingin diterapkan. Sehingga untuk strategi pembelajaran ini sangat berhubungan dengan pengembangan kurikulum tersebut. Tanpa adanya strategi pembelajaran yang baik dan tepat, bukan tidak mungkin penerapan kurikulum pun belum tentu tepat. Selain itu, bahkan untuk Kurikulum 2013 berbagai tekanan dalam proses pengembangannya. Seperti, tantangan masa depan, kompetensi masa depan, persepsi masyarakat, fenomena negatif yang mengemuka, dan perkembangan pengetahuan dan pedagogi.
Tekanan-tekanan tersebutlah yang juga dapat menentukan strategi pembelajaran ini. Bahkan, untuk saat ini menurut sumber terkait dalam implementasi kurikulum 2013 dapat dilakukan pendekatan pembelajaran secara scientific atau pendekatan ilmiah. Hal ini karena pendekatan pembelajaran ini dirasa cocok untuk Kurikulum 2013 sekarang. Tetapi, tentu saja Ketentuan tentang Kurikulumlah menentukan. Ketentuan ini berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional terutama dalam Pasal 38 (KTSP), Penjelasan Bagian Umum (KBK), dan Penjelasan Pasal 35 ( lingkup Kompetensi). Dan Kemendikbud yang akan meneliti dan memprosesnya untuk mencapai pendidikan yang baik di Indonesia.
Sumber terkait:
-14-KODE-03-B5-Strategi-Pembelajaran-dan-Pemilihannya.pdf
- Presentation Kurikulum 2013 di SPs UPI (3).pdf
-http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2013/07/pendekatan-scientific-dalam-implementasi-kurikulum-2013.html(diakses pada tanggal 20 Oktober 2013 pukul 20.00 WIB)
Minggu, 20 Oktober 2013
Sabtu, 12 Oktober 2013
Tinjauan Sikap Anak Membolos Sekolah Berdasarkan Landasan Sosiologi Dan Antropologi Pendidikan
Artikel 08 Jan 2009
Menyikapi Anak Bolos Sekolah
JAKARTA-- Pemandangan anak-anak yang membolos dari sekolah pada jam pelajaran tampaknya tak asing lagi. Seperti terlihat di sebuah warung internet (warnet) pada pukul 10.00 di kawasan timur Jakarta yang penuh dengan anak-anak usia sekolah dasar (SD) dan menengah pertama (SMP).
Sebagian anak melepaskan seragam sekolah mereka, tampak asyik bermain game online. Tangan dan mata mereka tidak lepas-lepas dari layar dan keyboard komputer.
MENARIK: Siswa perlu diajak dalam kegiatan belajar
mengajar yang menarik minat, sehingga dapat menekan angka membolos
Salah seorang siswa kelas 4 SD, Adi mengaku bermain game online diwarnet karena masuk siang. Hal serupa dinyatakan oleh Rizal teman sekelas Adi. "Masuk siang, jadi main game dulu," ungkap Rizal.
Sebagai pengisi waktu luang rasanya bermain game di warnet tidak tepat. Apalagi jika bermain game di warnet sampai harus bolos seperti yang dilakukan Evin dan Taufik siswa kelas 3 SMP di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
"Habis bete di sekolah. Tidak enak," kata Evin. Sungguh mengagetkan bukan? Bahkan ketika ditanya tidak takut dimarahi orang tua karena membolos, dengan entengnya mereka menjawab, "Kan tidak ketahuan".
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Seto Mulyadi mengatakan kebiasaan anak menghabiskan waktu luang atau membolos saat jam sekolah salah satunya disebabkan karena pelajaran atau kegiatan di sekolah tidak menarik.
"Kalau diperhatikan, anak-anak akan berteriak bahagia ketika mendengar bel istirahat atau bel pulang sekolah," ungkap Kak Seto, beberapa waktu lalu di Jakarta.
Lebih lanjut Kak Seto mengatakan, para akedimisi seharusnya lebih memperhatikan kegiatan yang menarik di sekolah sehingga perhatian anak akan fokus pada kegiatan positif di sekolah.
Dia menunjuk, sekolah negeri dan perangkatna yang masih kurang maksimal dalam mengajar kreatif. Bahkan Kak Seto menegaskan, belajar bukanlah kewajiban melainkan hak anak.
"Banyak guru yang tidak melihat proses kreativitas anak. Padahal tipe kecerdasan dan gaya belajar anak yang satu dengan yang lainnya berbeda, tapi semuanya disama ratakan. Ini yang membuat anak tidak betah ada di ruang kelas," paparnya.
Bermain game di komputer dengan waktu yang lama mengakibatkan anak menjadi pribadi yang tidak peduli dengan lingkungan. Hal tersebut disampaikan oleh sekretaris jenderal Yayasan Cinta Anak Bangsa, Iskandar Hukom.
"Anak-anak terpaku pada layar monitor, kehidupan sosial mereka terganggu karena mereka sibuk dengan permainan yang ada di komputer," ungkap Iskandar Hukom.
Dampak yang timbul akibat kebiasaan anak bermain game di komputer dalam waktu yang lama bukan saja mengganggu aktivitas belajar mereka tapi juga mereka tidak memiliki fighting spirit. Menurut Iskandar Hukom keadaan ini disebabkan kebutuhan anak bertarung sudah dipenuhi dengan bermain game. "Mereka jadi tidak punya sifat kompetitif dan tantangannya nol," imbuhnya.
Perlu Perhatian Orang Tua
Untuk
meghindari hal-hal yang buruk dimungkinkan dari kegiatan membolos, Kak Seto
menekankan pada sistem pendidikan yang harus bisa melihat dan memproses
kecerdasan masing-masing anak. "Kecerdasan anak berbeda, sehingga
pendekatannya pun berbeda," kata Kak Seto.
Dia menuturkan, alternatif home schooling merupakan salah satu pilihan agar anak dapat berkembang sesuai kemampuan yang dimiliki dan kegiatan belajar menjadi hal yang menarik. "Pengalaman saya anak-anak yang home schooling merasa senang dengan belajar. Ketika ditanya apa yang mereka gemari, jawabannya adalah belajar," imbuhnya.
Kak Seto juga menekankan akan kebutuhan anak memiliki lahan bermain yang luas dan terbuka. Dia menyayangkan sudah sangat sedikit sekali lahan terbuka untuk bermain. Padahal dengan bermain di lahan terbuka pikiran dan tubuh mereka akan lebih fresh. Selain itu kegiatan sosial dan solidaritas mereka dapat terbangun.
Iskandar Hukom mengamini hal tersebut. Menurutnya dengan bermain game di komputer berlama-lama fisik anak akan terganggu.
"Mata mereka harus menatap layar komputer berjam-jam, selain itu mereka juga tidak ada pergerakan," ungkapnya. Oleh karena itu penyediaan lahan terbuka memang sangat dibutuhkan agar anak bisa bermain dengan cara yang menyenangkan tapi juga memiliki dampak yang positif.
Lebih lanjut dia mengatakan kontrol orang tua harus lebih ditingkatkan. Menurutnya orang tua harus punya aturan yang tegas.
"Saya tidak pernah meletakkan komputer di dalam kamar anak-anak, biar saya bisa mengontrol apa yang mereka lakukan dengan komputer. Selain itu saya tidak memperbolehkan mereka membeli kaset-kaset game apalagi yang berunsur kekerasan," paparnya. (cr1/ri)
Dia menuturkan, alternatif home schooling merupakan salah satu pilihan agar anak dapat berkembang sesuai kemampuan yang dimiliki dan kegiatan belajar menjadi hal yang menarik. "Pengalaman saya anak-anak yang home schooling merasa senang dengan belajar. Ketika ditanya apa yang mereka gemari, jawabannya adalah belajar," imbuhnya.
Kak Seto juga menekankan akan kebutuhan anak memiliki lahan bermain yang luas dan terbuka. Dia menyayangkan sudah sangat sedikit sekali lahan terbuka untuk bermain. Padahal dengan bermain di lahan terbuka pikiran dan tubuh mereka akan lebih fresh. Selain itu kegiatan sosial dan solidaritas mereka dapat terbangun.
Iskandar Hukom mengamini hal tersebut. Menurutnya dengan bermain game di komputer berlama-lama fisik anak akan terganggu.
"Mata mereka harus menatap layar komputer berjam-jam, selain itu mereka juga tidak ada pergerakan," ungkapnya. Oleh karena itu penyediaan lahan terbuka memang sangat dibutuhkan agar anak bisa bermain dengan cara yang menyenangkan tapi juga memiliki dampak yang positif.
Lebih lanjut dia mengatakan kontrol orang tua harus lebih ditingkatkan. Menurutnya orang tua harus punya aturan yang tegas.
"Saya tidak pernah meletakkan komputer di dalam kamar anak-anak, biar saya bisa mengontrol apa yang mereka lakukan dengan komputer. Selain itu saya tidak memperbolehkan mereka membeli kaset-kaset game apalagi yang berunsur kekerasan," paparnya. (cr1/ri)
Sumber:
Tinjauan
Berdasarkan Landasan Sosiologi Dan Antropologi Pendidikan
Berdasarkan
materi-materi Bab Landasan Sosiologi Dan Antropologi Pendidikan (Drs.Tatang
Syaripudin, M.Pd.:121), yakni antara lain
Antara individu,
masyarakat dan kebudayaannya tak dapat dipisahkan. Di dalam masyarakat terdapat
struktur sosial, dimana setiap individunya mempunyai kedudukan (status) dan
peranan (role) tertentu. Kemudian, seseorang dikatakan melaksanakan peranannya
jika ia melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan statusnya. Jika, seseorang
tidak sesuai dengan sistem nilai dan norma atau kebudayaan masyarakatnya, maka
ia dipandang melakukan penyimpangan tingkah laku atau penyimpangan sosial.
Terhadapnya masyarakat akan mengucilkannya, bahkan melakukan pengendalian
sosial. Terhadap generasi mudanya, masyarakat antara lain melakukan apa yang di
dalam sosiologi disebut sosialisasi atau apa yang di dalam antropologi disebut enkulturasi.
Pendidikan inilah dilaksanakan sebagai upaya untuk peserta didik mampu hidup
bermasyarakat dan berbudaya. Sehingga pada hakikatnya pendidikan meliputi
sosialisasi dan enkulturasi.
Kemudian,
pranata sosial merupakan suatu sistem peran dan norma atau perilaku terpola
yang saling berhubungan dan terorganisir di sekitar pemenuhan kebutuhan dan
fungsi sosial yang penting oleh suatu masyarakat untuk memenuhi berbagai
kebutuhan dasarnya. Lalu, jenis-jenis pranata sosial meliputi pranata ekonomi,
politik, agama, pendidikan, dsb. Untuk pranata pendidikan merupakan salah satu
pranata sosial dalam rangka proses sosialisasi dan/atau enkulturasi untuk
mengantarkan individu ke dalam kehidupan bermasyarakat dan berbudaya, serta
menjaga kelangsungan eksistensi masyarakat dan kebudayaannya. Dalam rangka
pendidikan, terjadilah proses pendidikan. Proses pendidikan ini berlangsung di
berbagai lingkungan/lembaga tersebut ada yang bersifat informal, formal dan
nonformal.
Untuk itu kesimpulan tinjauan yang dapat
diambil jika mengambil permasalahan seperti membolos sekolah ini adalah
Berdasakan
interaksi antara peserta didik atau siswa sebagai manusia, masyarakat dan
kebudayaannya berkaitan erat. Siswa yang berinteraksi di lingkungan sekolah dan
menerima nilai-nilai kebudayaan sekolah maupun masyarakat akan melakukan tindakan
membolos sebagai pelaggaran tersebut karena tidak melaksanakan hak dan kewajibannya
dengan status dan peranannya. Dalam pencapaian tersebut inilah terjadi
interaksi sosial. nteraksi sosial peserta didik atau siswa dalam masyarakat
dimana untuk meningkatkan perikehidupan masyarakat yang semakin meningkat
dllakukan pelanggaran dengan cara membolos tersebut. Berbagai aturan, nilai,
norma dan lain sebagainya yang dirasa begitu melelahkan untuk dilakukan, akan
lebih baik untuk tidak dilakukan.
Penerapan sosialisasi,
dalam tindakan sosial ini dalam pendidikan agar dapat mencapai sosialisasi masyarakat
yang sesuai status dan peranannya terhadap nilai-nilai masyarakat. Adapun, pelanggaran
ini dimana tidak sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan masyarakat dapat terjadi
karena berbagai faktor. Selain dari karena siswa merasa nilai-nilai budaya tersebut
bukan merupakan bagian dirinya dapat pula karena penerapan berbagai sistem
pendidikan yang tidak sesuai atau dapat dikatakan pranata sosialnya. Pranata sosial
dimana menerapkan sistem peran dan norma
sosial yang saling berhubungan dalam pemenuhan kebutuhan dan fungsi sosial ini
yang penting. Untuk tindakan membolos ini dapat diambil contoh terhadap pranata
pendidikannya untuk menjadi anggota masyarakat yang diharapkan.
Lebih lanjut,
dalam pranata pendidikan dimana dilakukan proses pendidikan di berbagai
lingkungan ini terdapat berbagai sifat pula. Meliputi, pendidikan informal,
fomal dan nonformal. Untuk pendidikan informal dalam keluarga yang menerapkan
berbagai pola perilaku sepanjang hidup ini tentu untuk menjadikan anggota masyarakat
yang baik. Begitupun dalam masyarakat pula.
Hanya saja bertambah untuk dapat meletarikan nilai-nilai budaya masyarakat.
Kemudian, pendidikan formal yakni sekolah. Jalur pendidikan yang telah terstruktur
dan terorganisir ini untuk mewujudkan aktivitas khas dan perilaku berpola masyarakat
dengan mencakup berbagai kedudukan dan peranan. Kemudian yang terakhir,
pendidikan nonformal yakni lembaga pendidikan, kursus ataupun pelatihan.
Dimana, jalur pendidikannya dapat terstruktur dan terorganisir dengan tujuan untuk mengembangkan berbagai
potensi dalam hal pengetahuan dan keterampilan serta pengembangan sikapnya.
Sehingga, apabila siswa dapat mengikuti berbagai pranata sekolah tersebut
dengan baik maka tindakan membolos tidak terjadi. Namun, sebaliknya jika tidak,
siswa tentu tidak akan merasakan manfaatnya.
Pelanggaran
membolos sekolah ini karena belum tercapainya penerapan nilai-nilai kebudayaan
masyarakat. Nilai-nilai kebudayaan yang tentu saja mengarah pada
pendidikan ini jika tercapai tujuannya
tidak akan terjdi pelanggaran tersebut. Untuk itu telah menjadi tugas pranata sosial
untuk menerapkan pola pendidikannya sehingga menerapkan siswa mencapai perilaku
yang diharapkan. Akan tetapi, perkembangan sikap yang mekipun telah diarahkan
belum tentu diterapkan oleh siswa itu sendiri.
Hal ini dapat
terjadi karena siswa meraa ketidaksesuaian nilai dan norma mayarakat baik itu
keluarga, sekolah maupun masyarakat terhadap dirinya. Oleh karena itu, siswa
menerapakan nilai-nilai ataupun aturan sesuai dengan keadaan dan situasi
dirinya. Dengan berbagai dukungan lingkungan sekitar meliputi tersedianya
berbagai alat untuk mencapai pelanggaran tersebut semakin mudah pula ia untuk
menghindari nilai dan norma kebudayaan masyarakat terebut. Dukungan ini
meliputi sistem pranata pendidikan yang tidak sesuai sehingga menimbulkan permasalahan
perkembangan kedaaan peserta didik hingga di lingkungan mayarakat tersedianya
lahan yang mendukung meliputi tersedianya warnet dimana siswa dapat dengan bebas
melakukan game online di saat jam sekolah. Maka terbentuklah pelanggaran
tindakan sosial ini.
Dan tentu saja
telah menjadi tugas guru untuk dapat mendorong siswa untuk keluar dari tindakan
pelanggaran sosial ini. Guru ini sebagai salah satu penghubung antara
pendidikan dengan masyarakst dan kebudayaanya terhadap siswa. Sehingga, tindakan
membolos sekolah ini dapat dicegah.
Kemudian lebih
lanjutnya lagi, peserta didik atau siswa yang merupakan makhluk sosial dimana
menerapkan interaksi sosialnya pada lingkungan sekitarnya perlu diarahkan.
Dengan pengarahan dan bimbingan yang baik, siswa dapat menyesuaikan dengan
nilai, norma dan aturan kebudyaan masyarakst itu sendiri. SIfat makhluk sosial
yang saling berinteraksi dengan lingkungannya ini dapat terarah menuju nilai
kebaikan hingga sesuai dengan tujuan pendidikan dan tujuan sosialisasi masyarakat
itu sendiri.
Untuk itu diterapkanlah
proses belajar sosial. Proses belajar sosial ini dilakukan sebagai upaya untuk
memperbaiki tindakan pelanggaran membolos sekolah tersebut. Proses belajar sosial
ini salah satunya dengan cara memberikan hukuman ataupun sanksi, proses
peniruan tingkah laku, pemberian ceramah dan mengajarkan dimana membolos sekolah
itu tidak perlu dilakukan. Kemudian, proses belajar menempatkan diri dan
memberikan ganjaran sebagai upaya lain untuk menghindarkan ataupun mencegah
dari tindakan ini. Dan tentu aja hal ini perlu dilakukan secara terus-menerus sehingga,
siswa menjadi terbiasa dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
MACAM-MACAM MODEL KONSEP KURIKULUM
Kurikulum merupakan
seperangkat/sistem rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman untuk menggunakan aktivitas belajar
mengajar.
Sistem diatas dipergunakan melihat kurikulum
itu ada sejumlah komponen yang terkait dan berhubungan satu sama lain untuk
mencapai tujuan. Dengan demikian, dipandang sistem terhadapa kurikulum, artinya
kurikulum itu dipandang memiliki sejumlah komponen-komponen yang saling
berhubungan, sebagai kesatuan yang bulat untuk mencapai tujuan.
Ada 4 aliran atau teori
pendidikan yang memiliki model konsep kurikulum dan praktek pendidikan
yang berbeda. Empat aliran pendidikan ini, yaitu pendidikan klasik, pribadi,
teknologi, dan interaksionis. Empat aliran atau teori pendidikan tersebut
memiliki model konsep kurikulum dan praktik pendidikan yang berbeda. Model
konsep kurikulum dari teori pendidikan klasik disebut kurikulum subjek
akademis, pendidikan pribadi disebut kurikulum humanistik, teknologi pendidikan
disebut kurikulum teknologis, dan dari pendidikan interaksionis disebut
kurikulum rekostruksi sosial.
A. Kurikulum Subjek Akademis
Kurikulum ini bersumber dari
pendidikan klasik , yang berorientasi pada masa lalu, isi pendidikan diambil
dari setiap disiplin ilmu sesuai dengan bidang disiplinnya para ahli , masing –
masing telah mengembangkan ilmu secara sistematis , logis , dan solid.
Kurikulum subjek akademis adalah
model konsep kurikulum tertua dan masih sering dipakai sampai saat ini, karena
kurikulum ini cukup praktis, mudah disusun, mudah digabungkan dengan tipe
lainnya. Kurikulum subjek akademis bersumber dari pendidikan klasik
(perenialisme dan esensialisme) yang berorientasi pada masa lalu. Kurikulum ini
lebih mengutamakan isi pendidikan. Pada kurikulum ini, orang yang berhasil
dalam belajar adalah orang yang menguasai seluruh atau sebagian besar isi
pendidikan yang diberikan atau disiapkan oleh guru.
Isi pendidikan disesuaikan dengan
displin ilmu. Para pengembang kurikulum tidak perlu menyusun dan mengembangkan
bahan sendiri, melainkan cukup mengorgansisasi secara sistematis mengenai isi
materi yang dikembangkan para ahli disiplin ilmu, sesuai dengan tujuan
pendidikan dan tahap perkembangan siswa yang akan mempelajarinya. Kurikulum ini
sangat mengutamakan pengetahuan maka pendidikannya lebih bersifat intelektual.
Kurikulum subjek akademis tidak
berarti hanya menekankan pada materi yang disampaikan, dalam secara berangsur
memperhatikan proses belajar yang dilakukan siswa. Salah satu contoh kurikulum
yang berdasarkan atas struktur pengetahuan adalah Man: A Course of Study
(MACOS). MACOS adalah kurikulum untuk sekolah dasar, terdiri atas
buku-buku, film, poster, rekaman, permainan, dan perlengkapan kelas lainnya.
Kurikulum ini ditujukan untuk mengadakan penyempurnaan tentang pengajaran ilmu
sosial dan humanitas, dengan pengarahan dan bimbingan Brunner. Sasaran utama
kurikulum MACOS adalah perkembangan kemampuan intelektual, yaitu membangkitkan
penghargaan dan keyakinan akan kemampuan sendiri dan memberikan serangkaian
cara kerja yang memungkinkan anak walaupun dengan cara sederhana mampu
menganalisis kehidupan sosial.
Ada 3 pendekatan dalam perkembangan kurikulum subjek
akademis, yaitu:
1. Melanjutkan pendekatan struktur
pengetahuan.
Murid-murid
belajar bagaimana memperoleh dan menguji fakta, serta bukan sekedar
mengingatnya.
2. Studi yang bersifat integratif
Pengorganisasian
tema-tema pengajaran didasarkan atas fenomena-fenomena alam, proses kerja
ilmiah dan problema-problema yang ada. Maka, dikembangkan suatu model kurikulum
yang terintegrasi (integrated curriculum). Ada beberapa ciri model
kurikulum yang dikembangkan:
· Menentukan
tema-tema yang membentuk satu kesatuan (unifying theme)
· Menyatukan
kegiatan belajar dari beberapa disiplin ilmu.
· Menyatuka
berbagai cara/metode belajar.
3. Pendekatan yang dilaksanakan pada sekolah-sekolah
fundamentalis.
Ciri-ciri kurikulum subjek akademis yaitu sebagai
berikut:
a.
Bertujuan untuk pemberian ide pengetahuan yang solid
serta melatih para siswa menggunakan ide-ide dan proses “penelitian”.
b.
Metode yang paling sering digunakan adalah metode
ekspositori dan inkuiri.
c.
Materi/ide-ide diberikan oleh guru yang kemudian
dielaborasi oleh siswa sampai terkuasai, dengan proses sebagai berikut: konsep
utama disusun secara sistematis, kemudian dikaji, selanjutnya dicari berbagai
masalah penting, kemudian dirumuskan dan dicari cara pemecahannya.
Pola-pola organisasi isi (materi pelajaran) kurikulum
subjek akademis diantaranya sebagai berikut:
1)
Correlated curriculum adalah pola
organisasi materi atau konsep suatu pelajaran yang dikorelasikan dengan
pelajaran lainnya.
2)
Unifyied atau Concentrated
curriculum adalah pola organisasi bahan pelajaran tersusun dalam tema-tema
pelajaran tertentu, yang mencakup materi dari berbagai pelajaran displin ilmu.
3)
Integrated curriculum yaitu sama
halnya dengan unifyied curriculum, namun yag membedakan pada integrated
curriculum tidak nampak lagi displin ilmunya. Bahan ajar diintegrasikan dalam
suatu persoalan, kegiatan atau segi kehidupa tertentu.
4)
Problem solving curriculum adalah pola
organisasi isi yang berisi topik pemecahan masalah sosial yang dihadapi dalam
kehidupan dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yag diperoleh dari
berbagai displin ilmu.
d.
Metode evaluasi, yaitu kurikulum subjek akademis
menggunakan bentuk evaluasi yang bervariasi, namun lebih banyak digunakan
bentuk uraian (essay) dari pada tes objektif.
B. Kurikulum Humanistik
Kurikulum ini berdasarkan konsep
aliran pendidikan pribadi (persoznalized educationi) yaitu John Dewey
dan J.J. Rousseau. Konsep ini lebih mengutamakan siswa yang merupakan subjek
yang menjadi pusat utama kegiatan pendidikan. Selain itu, pendidik humanis
lebih juga berpegang pada konsep Gestalt, bahwa seorang anak merupakan satu
kesatuan yang menyeluruh. Pendidikan diarahkan kepada membina manusia yang utuh
bukan saja dari segi fisik dan intelektual tetapi juga segi sosial dan afektif
(emosi, sikap, perasaan, nilai, dan lain-lain).
Pandangan mereka berkembang sebagai
reaksi terhadap pendidikan yang lebih menentukan segi intelektual dengan peran
utama dipegang oleh guru. Pendidikan humanistik menekankan peranan siswa.
Pendidikan merupakan suatu upaya untuk menciptakan suasana yang permisif,
rilek, dan akrab. Berkat situasi tersebut anak dapat mengembangkan segala
potensi yang dimilikinya.
Pendidikan mereka lebih menekankan
bagaimana mengajar siswa, bagaimana merasakan dan bersikap terhadap sesuatu.
Tujuan pengajaran adalah memperluas kesadaran sendiri dan mengurangi
kerenggangan dan keterasingan dari linkungan. Ada beberapa aliran yang termasuk
dalam pendidikan humanistic yaitu pendidikan: konfluen, kritikilisme radikal,
dan minikisme modern.
Ada tiga aliran yang termasuk dalam pendidikan
humanistik, yaitu:
1. Pendidikan
Konfluen, menekankan keutuhan pribadi, individu harus merespons secara utuh (baik
segi pikiran, perasaan, maupun tindakan), terhadap kesaruan yang menyeluruh
dari lingkungan. Kurikulum konfluen memiliki ciri-ciri utama sebagai berikut:
1)
Partispasi, kurikulum ini menekankan partisipasi
murid dalam belajar.
2)
Integrasi, adanya interaksi, interpenetrasi,
dan integrasi dari pemikiran, perasaan dan juga tindakan.
3)
Relevasi, adanya kerelevanan is kurikulum
antara kebutuhan, minat dan kehidupan murid.
4)
Pribadi anak, memberikan tempat utama pada pribadi
anak untuk berkembang dan beraktualisasi potensi secara utuh.
5)
Tujuan, memiliki tujuan mengembangka pribadi
yang utuh.
2. Kritikisme Radikal, pendidikan sebagai upaya untuk membantu anak menemukan
dan mengembangkan sendiri segala potensi yang dimilikinya.
3. Mistikisme Modern, yaitu aliran yang menekankan latihan dan pengembangan
kepekaan perasaan, kehalusan budi pekerti, melalui sensitivity training,
yoga, meditasi, dan sebagainya.
Karakteristik Kurikulum Humanistik :
a.
Berkenaan dengan tujuan , metode , organisasi isi dan
evaluasi
b.
Menuntut hubungan yang emosional yang baik antara guru
dan murid
c.
Menekankan integrasi
d.
Evaluasi , lebih mengutamakan proses daripada hasil. Dan tidak memiliki kriteria pencapaian. Sasaran kurikulum
ini adalah perkembangan anak agar menjadi manusia yang lebih terbuka dan lebih
mandiri.
C. Kurikulum
Rekonstruksi Sosial
Kurikulum ini lebih memusatkan
perhatian pada problema-problema yang dihadapinya dalam masyarakat. Pada
kurikulum ini, pendidikan bukan upaya sendiri, melainkan kegiatan bersama,
interaksi, dan kerja sama. Kerja sama dan interaksi yag terjadi bukan hanya antara
guru dan siswa, melainkan antara siswa dengan siswa, siswa dengan lingkungan
serta siswa dengan sumber belajar lainnya.
Pandangan rekonstruksi sosial di
dalam kurikulum dimulai sekitar tahun 1920-an. Harold Rug melihat adanya
kesenjangan antara kurikulum dengan masyarakat. Rug menginginkan siswa dapat
mengidentifikasi dan memecahkan masalah-masalah sosial sehingga diharapkan
dapat menciptakan masyarakat baru yang lebih stabil.
Theodore Brameld, pada awal tahu
1950-an menyampaikan gagasanya tentang rekonstruksi sosial. Untuk melaksanakan
hal itu, sekolh mempunyai kewajiban membantu individu mengembangkan kemampuan
sosialnya dan membantu bagaimana berpartisipasi sebaik-baiknya dalam kegiatan
sosial.
Ciri-ciri desain kurikulum rekonstruksi sosial adalah
sebagai berikut:
1.
Bertujuan utama menghadapkan para siswa pada
tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau gangguan-gangguan yang dihadapi
manusia dalam masyarakat.
2.
Kegiatan belajar dipusatkan pada masalah-masalah
sosial yang mendesak.
3.
Pola-pola organsasi kurikulum ini disusun seperti
sebuah roda, ditengah-tengahnya sebagai poros merupakan masalah yang menjadi
tema utama.
Kurikulum rekonstruksi sosial
memiliki komponen-komponen yang sama dengan model kurikulum lain tetapi isi dan
bentuk-bentuknya berbeda. Komponen-komponen kurikulum rekonstruksi sosial
adalah sebagai berikut:
a) Tujuan dan isi kurikulum.
Tujuan program pendidikan setiap
tahun berubah.
b) Metode.
Bagi
rekonstruksi sosial, belajar merupakan kegiatan bersama, ada kebergantungan
antara seorang dengan lainnya, tidak ada kompetisi, yag ada adalah kerjasama,
pengertian dan konsensus.
c) Evaluasi.
Siswa dilibatkan dalam memilih,
menyusun, dan menilai bahan yang akan diujikan.
Untuk pelaksanaan pengajaran
rekonsruksi sosial, Harold G. Shane menyarankan para pengembang kurikulum, agar
mempelajari kecenderungan (trends) perkembangan. Kecenderungan utama adalah
perkembangan teknologi dengan berbagai dampaknya terhadap kondisi dan
perkembangan masyarakat. Kecenderungan lain adalah perkembangan ekonomi,
politik, sosial, dan budaya.
Sedangkan “pelaksanaan pengajaran
rekonstruksi sosial”, yaitu “rekonstruksi sosial” banyak dilaksanakan
didaerah yang belum maju dan tingkat ekonominya masih rendah. Pengajaran
diarahkan untuk meningkatkan kondidi kehidupan mereka sesuai potensi yang ada
dalam masyarakat , biaya dari pemerintah.
D. Kurikulum
Teknologis
Sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dibidang pendidikan berkembang juga teknologi
pendidikan. Aliran ini ada persamaannya dengan pendidikan klasik, yaitu
menekankan isi kurikulum, tetapi diarahkan bukan pada pemeliharaan dan
pengawetan ilmu tersebut tetapi pada penguasaan kompetensi. Suatu kompetensi
yang lebih besar diuraikan menjadi kompetensi yang lebih sempit dan ahirnya
menjadi prilaku-prilaku yang dapat diamati atau diukur.
Contohnya, sejak dulu pendidikan
telah menggunakan teknologi, seperti papan tulis, kapur, dan lain-lain. Namun,
sekarang seiring dengan kemajuan teknologi banyak alat (tool) seperti
audio,video, overhead projector, film slide, dan motion film,
serta banyak alat-alat lainnya.
Penerapan teknologi dalam bidang
pendidikan khususnya kurikulum dibagi dalam dua bentuk, yaitu:
1.
Perangkat lunak (software) atau disebut juga
teknologi sistem (system technology). Pada bentuk ini, lebih menekankan
kepada penggunaan alat-alat teknologis yang menunjang efisiensi dan efektivitas
pendidikan.
2.
Perangkat keras (hardware) atau sering disebut
juga teknologi alat (tools technology). Pada bentuk ini, lebih
menekankan kepada penyusuna program pengajaran atau rencana pelajaran dengan
menggunakan pendekatan sistem.
Ciri-ciri kurikulum yang
dikembangkan dari konsep teknologis pendidikan (kurikulum teknologis), yaitu:
a.
Tujuan diarahkan pada penguasaan kompetensi, yang
dirumuskan dalam bentuk perilaku. Tujuan-tujuan yang bersifat umum yaitu
kompetensi dirinci menjadi tujuan-tujuan khusus, yang disebut objektif atau
tujuan instruksional.
b.
Metode yang digunakan biasanya bersifat individual,
kemudian pada saat tertentu ada tugas-tugas yang harus dikerjakan secara
kelompok. Pelaksanaan pengajaran mengikuti langkah-langkah sebagai berikut.
o Penegasan
tujuan kepada siswa.
o Pelaksanaan
pengajaran
o Pengetahuan
tentang hasil
o Organisasi
bahan ajar
o Evaluasi
Pengembangan kurikulum teknologis berpegang pada
beberapa kriteria, yaitu:
1. Prosedur pengembagan kurikulum dinilai dan disempurnakan oleh pengembang
kurikulum yang lain.
2. Hasil pengembangan terutama yang berbentuk model adalah yang bisa
diuji coba ulang, dan hendaknya memberikan hasil yang sama.
Inti dari
pengembangan kurikulum teknologis adalah penekanan pada kompetensi.
Pengembangan dan penggunaan alat dan media pengajaran bukan hanya sebagai alat
bantu tetapi bersatu dengan program pengajaran dan ditujukan pada penguasaan
kompetensi tertentu.
Dalam pengembangan kurikulum
teknologis kerjasama dengan para penyusun program dan penerbit media elektronik
serta media cetak. Pengembangan pengajaran yang betul-betul berstruktur dan
bersatu dengan alat dan media membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ini
merupakan hambatan utama dalam pengembangan kurikulum teknologis.
Sumber:
http://auliagustina.blogspot.com/2011/03/macam-macam-model-konsep-kurikulum.html
(dikutip dari: Syaodih S., Nana. 2001. Pengembangan Kurikulum Teori dan
Praktek. Jakarta: Rosda)
Langganan:
Postingan (Atom)